Senin, 04 Maret 2013

DARI MASA KERASULAN SAMPAI ISLAMNYA UMAR

Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal, Wahyu Terhenti, Islamnya Abu Bakr, Kaum Muslimin yang Mula-mula, Ajakan Muhammad Kepada Keluarganya, Muhammad Menista Dewa-dewa Quraisy, Utusan Quraisy Kepada Abu Talib, Kedudukan Muhammad Terhadap Pamannya, Quraisy Menyiksa Kaum Muslimin, Kaum Muslimin Hijrah ke Abisinia, Islamnya Umar.

Percakapan Khadijah dengan Waraqa b. Naufal

MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap orang yang tadi mengajaknya bicara itu.

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri Al-Amin kelak.

Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.

Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar, kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah."

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

"O orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74: 1 - 7)

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.

"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah," jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pemah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.

Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.


Wahyu Terhenti
Ia sedang menantikan bimbingan wahyu dalam menghadapi masalahnya itu, menantikan adanya penyuluh yang akan menerangi jalannya. Tetapi, wahyu itu sekarang terputus! Jibrilpun tidak datang lagi kepadanya. Tempat di sekitarnya jadi sunyi, bisu. Ia merasa terasing dari orang, dan dari dirinya. Kembali ia merasa dalam ketakutan seperti sebelum turunnya wahyu. Konon Khadijah pernah mengatakan kepadanya: "Mungkin Tuhan tidak menyukai engkau."

Ia masih dalam ketakutan. Perasaan ini juga yang mendorongnya lagi akan pergi ke bukit-bukit dan menyendiri lagi dalam gua Hira'. Ia ingin membubung tinggi dengan seluruh jiwanya, menghadapkan diri kepada Tuhan, akan menanyakan: Kenapa ia lalu ditinggalkan sesudah dipilihNya? Kecemasan Khadijahpun tidak pula kurang rasanya.

Ia mengharap mati benar-benar kalau tidak karena merasakan adanya perintah yang telah diberikan kepadanya. Kembali lagi ia kepada dirinya, kemudian kepada Tuhannya. Konon katanya: Pernah terpikir olehnya akan membuang diri dari atas Hira' atau dari atas puncak gunung Abu Qubais. Apa gunanya lagi hidup kalau harapannya yang besar ini jadi kering lalu berakhir ?

Sementara ia sedang dalam kekuatiran demikian itu - sesudah sekian lama terhenti - tiba-tiba datang wahyu membawa firman Tuhan:

"Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkaupun akan bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang piatu, lalu diberiNya tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu diberiNya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak piatu, jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta, jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan."(Qur'an, 93: 1-11)

Maha Mulia Allah. Betapa damainya itu dalam jiwa. Betapa gembira dalam hati! Rasa cemas dan takut dalam diri Muhammad semuanya hilang sudah. Terbayang senyum di wajahnya. Bibirnyapun mengucapkan kata-kata syukur, kata-kata kudus dan penuh khidmat. Tidak lagi Khadijah merasa takut, bahwa Tuhan sudah tidak menyukai Muhammad dan iapun tidak lagi merasa takut dan gelisah. Bahkan Tuhan telah melindungi mereka berdua dengan rahmatNya. Segala rasa takut dan keraguan-raguan hilang sama sekali dari hatinya. Tak ada lagi bunuh diri.

Yang ada sekarang ialah hidup dan ajakan kepada Allah, dan hanya kepada Allah semata. Hanya kepada Allah Yang Maha Besar menundukkan kepala. Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud belaka kepadaNya. Hanya Dialah Yang Hak, dan yang selain itu batil adanya. Hanya kepadaNya hati manusia dihadapkan, seluruh hidup kesana juga bergantung dan kepadaNya pula ruh akan kembali. "Sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang."

Ya, hari kemudian tempat berkumpulnya jiwa dengan segala bentuknya yang penuh, yang tidak lagi kenal ruang dan waktu, dan semua cara hidup pertama yang rendah ini akan terlupakan adanya. Hari kemudian yang akan disinari cahaya pagi, berkilauan, dan malam yang gelap dan kelam. Bintang-bintang di langit, bumi dan gunung-gunung, semua akan dihubungi oleh jiwa yang pasrah menyerah. Kehidupan inilah yang akan menjadi tujuan. Inilah kebenaran yang sesungguhnya. Di luar itu hanya bayangan belaka, yang tiada berguna. Kebenaran inilah yang cahayanya disinari oleh jiwa Muhammad, dan yang baru akan dipantulkan kembali guna memikirkan bagaimana mengajak orang ingat kepada Tuhan. Dan guna mengajak orang kepada Tuhan, ia harus membersihkan pakaiannya serta menjauhi perbuatan mungkar. Ia harus tabah menghadapi segala gangguan demi menjaga dakwah kepada Kebenaran. Ia harus menuntun umat kepada ilmu yang belum mereka ketahui; jangan menolak orang meminta, jangan berlaku bengis terhadap anak piatu. Cukuplah Tuhan telah memilihnya sebagai pengemban amanat. Maka katakanlah itu. Cukup sudah, bahwa Tuhan telah menemukannya sebagai seorang piatu, lalu dilindungiNya di bawah asuhan kakeknya Abd'l-Muttalib, dan pamannya, Abu Talib. Ia yang hidup miskin, telah diberi kekayaan dengan amanat Tuhan kepadanya. Dipermudah pula dengan Khadijah sebagai kawan semasa mudanya, kawan semasa dalam tahannuth, kawan semasa kerasulannya, kawan yang penuh cinta kasih, yang memberi nasehat dengan rasa kasih-sayangnya. Tuhan telah mendapatinya tak tahu jalan, lalu diberiNya petunjuk berupa risalah. Cukuplah semua itu. Hendaklah ia mengajak orang kepada Kebenaran, berusaha sedapat mungkin.

Begitulah ketentuan Tuhan terhadap seorang nabi yang telah dipilihNya. Ia tidak ditinggalkanNya, juga tidak dibenciNya.

Tuhan telah mengajarkan Nabi bersembahyang, maka iapun bersembahyang, begitu juga Khadijah ikut pula sembahyang. Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum balig. Pada waktu itu suku Quraisy sedang mengalami suatu krisis yang luarbiasa. Abu Talib adalah keluarga yang banyak anaknya. Muhammad sekali berkata kepada Abbas, pamannya - yang pada masa itu adalah yang paling mampu di antara Keluarga Hasyim: "Abu Talib saudaramu anaknya banyak. Seperti kaulihat, banyak orang yang mengalami krisis. Baiklah kita ringankan dia dari anak-anaknya itu. Aku akan mengambilnya seorang kaupun seorang untuk kemudian kita asuh."

Karena itu Abbas lalu mengasuh Ja'far dan Muhammad mengasuh Ali, yang tetap tinggal bersama sampai pada masa kerasulannya.

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang sembahyang, tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan sujud serta membaca beberapa ayat Qur'an yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya. Anak ifu tertegun berdiri: "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya setelah sembahyang selesai.

"Kami sujud kepada Allah," jawab Muhammad, "Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah"

Lalu Muhammadpun mengajak sepupunya itu beribadat kepada Allah semata tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa nabi utusanNya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lat dan 'Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Qur'an. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luar biasa indahnya.

Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya lebih dulu. Semalaman itu ia merasa gelisah. Tetapi besoknya ia memberi tahukan kepada suami-isteri itu, bahwa ia akan mengikuti mereka berdua, tidak perlu minta pendapat Abu Talib. "Tuhan menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dengan Abu Talib. Apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah."

Jadi Ali adalah anak pertama yang menerima Islam. Kemudian Zaid b. Haritha, bekas budak Nabi. Dengan demikian Islam masih terbatas hanya dalam lingkungan keluarga Muhammad: dia sendiri, isterinya, kemenakannya dan bekas budaknya. Masih juga ia berpikir-pikir, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy itu. Tahu benar ia, betapa kerasnya mereka itu dan betapa pula kuatnya mereka berpegang pada berhala yang disembah-sembah nenek moyang mereka itu.

Islamnya Abu Bakr ▲
Pada waktu itu Abu Bakr b. Abi Quhafa dari kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya benar ia sebagai orang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Oleh karena itu orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah Yang Esa dan meninggalkan penyembahan berhala, adalah dia. Juga dia laki-laki pertama tempat dia membukakan isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakr tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan beriman pula akan ajakannya itu. Jiwa yang mana lagi yang memang mendambakan kebenaran masih akan ragu-ragu meninggalkan penyembahan berhala dan untuk kemudian menyembah Allah Yang Esa! Jiwa yang mana lagi yang masih disebut jiwa besar di samping menyembah Allah masih mau menyembah batu yang bagaimanapun bentuknya! Jiwa yang mana lagi yang sudah bersih masih akan ragu-ragu membersihkan pakaian dan jiwanya, berderma kepada orang yang membutuhkan dan berbuat kebaikan kepada anak piatu!

Keimanannya kepada Allah dan kepada RasulNya itu segera diumumkan oleh Abu Bakr di kalangan teman-temannya. Ia memang seorang pria yang rupawan. "Menjadi kesayangan masyarakatnya dan amikal sekali. Dari kalangan Quraisy ia termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan yang banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik ia cukup terkenal. Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena ilmunya, karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang baik."

Kaum Muslimin yang Mula-mula
Dari kalangan masyarakatnya yang dipercayai oleh Abu Bakr diajaknya mereka kepada Islam. Usman b. 'Affan, Abdurrahman b. 'Auf, Talha b. 'Ubaidillah, Sa'd b. Abi Waqqash dan Zubair bin'l-'Awwam mengikutinya pula menganut Islam. Kemudian menyusul pula Abu 'Ubaida bin'l-Djarrah, dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah. Mereka yang sudah Islam itu lalu datang kepada Nabi menyatakan Islamnya, yang selanjutnya menerima ajaran-ajaran agama itu dari Nabi sendiri.

Mengetahui adanya permusuhan yang begitu bengis dari pihak Quraisy terhadap segala sesuatu yang melanggar paganisma, maka kaum Muslimin yang mula-mula masih sembunyi-sembunyi. Apabila mereka akan melakukan salat, mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan serupa ini berjalan selama tiga tahun, sementara Islam tambah meluas juga di kalangan penduduk Mekah. Wahyu yang datang kepada Muhammad selama itu makin memperkuat iman kaum Muslimin.

Yang menambah pula dakwah itu berkembang sebenarnya karena teladan yang diberikan Muhammad sangat baik sekali: ia penuh bakti dan penuh kasih-sayang, sangat rendah hati dan penuh kejantanan, tutur-katanya lemah-lembut dan selalu berlaku adil; hak setiap orang masing-masing ditunaikan. Pandangannya terhadap orang yang Iemah, terhadap piatu, orang yang sengsara dan miskin adalah pandangan seorang bapa yang penuh kasih, lemah-lembut dan mesra. Malam haripun, dalam ia bertahajud, malam ia tidak cepat tidur, membaca wahyu yang disampaikan kepadanya, renungannya selalu tentang langit dan bumi, mencari pertanda dari segenap wujud ini, permohonannya selalu dihadapkan hanya kepada Allah. Dia. yang menyerapkan hidup semesta ini ke dalam dirinya dan kedalam jantung kehidupannya sendiri, adalah suatu teladan yang membuat mereka yang sudah beriman dan menyatakan diri Islam itu, makin besar cintanya kepada Islam dan makin kukuh pula imannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan anutan nenek-moyang mereka dengan menanggung segala siksaan kaum musyrik yang hatinya belum lagi disentuh iman.

Saudagar-saudagar dan kaum bangsawan Mekah yang sudah mengenal arti kesucian, sudah menyadari arti kebenaran, pengampunan dan arti rahmat, mereka beriman kepada ajaran Muhammad. Semua kaum yang lemah, semua orang yang sengsara dan semua orang yang tidak punya, beriman kepadanya. Ajaran Muhammad sudah tersebar di Mekah, orang sudah berbondong-bondong memasuki Islam, pria dan wanita.

Orang banyak bicara tentang Muhammad dan tentang ajaran-ajarannya. Akan tetapi penduduk Mekah yang masih berhati-hati, yang masih tertutup hatinya, pada mulanya tidak menghiraukannya. Mereka menduga, bahwa kata-katanya tidakkan lebih dari kata-kata pendeta atau ahli-ahli pikir semacam Quss, Umayya, Waraqa dan yang lain. Orang pasti akan kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya; yang akhirnya akan menang ialah Hubal, Lat dan 'Uzza, begitu juga Isaf dan Na'ila yang dibawai kurban. Mereka lupa bahwa iman yang murni tak dapat dikalahkan, dan bahwa kebenaran pasti akan mendapat kemenangan.

Ajakan Muhammad Kepada Keluarganya
Tiga tahun kemudian sesudah kerasulannya, perintah Allah datang supaya ia mengumumkan ajaran yang masih disembunyikan itu, perintah Allah supaya disampaikan. Ketika itu wahyu datang:

"Dan berilah peringatan kepada keluarga-keluargamu yang dekat. Limpahkanlah kasih-sayang kepada orang-orang beriman yang mengikut kau. Kalaupun mereka tidak mau juga mengikuti kau, katakanlah, 'Aku lepas tangan dari segala perbuatan kamu.'" (Qur'an 26: 214-216)

"Sampaikanlah apa yang sudah diperintahkan kepadamu, dan tidak usah kauhiraukan orang-orang musyrik itu."(Qur'an 15: 94)

Muhammadpun mengundang makan keluarga-keluarga itu ke rumahnya, dicobanya bicara dengan mereka dan mengajak mereka kepada Allah. Tetapi Abu Talib, pamannya, lalu menyetop pembicaraan itu. Ia mengajak orang-orang pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya sekali lagi Muhammad mengundang mereka.

Selesai makan, katanya kepada mereka: "Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini?"

Mereka semua menolak, dan sudah bersiap-siap akan meninggalkannya. Tetapi tiba-tiba Ali bangkit - ketika itu ia masih anak-anak, belum lagi balig.

"Rasulullah, saya akan membantumu," katanya. "Saya adalah lawan siapa saja yang kautentang."

Banu Hasyim tersenyum, dan ada pula yang tertawa terbahak-bahak. Mata mereka berpindah-pindah dari Abu Talib kepada anaknya. Kemudian mereka semua pergi meninggalkannya dengan ejekan.

Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah. Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: "Muhammad bicara dari atas Shafa." Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada apa?"

"Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?"

"Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta."

"Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf, Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah."

Atau seperti dilaporkan: Abu Lahab - seorang laki-laki berbadan gemuk dan cepat naik darah - kemudian berdiri sambil meneriakkan: "Celaka kau hari ini. Untuk ini kau kumpulkan kami?"

Muhammad tak dapat bicara. Dilihatnya pamannya itu. Tetapi kemudian sesudah itu datang wahyu membawa firman Tuhan:

"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan celakalah ia. Tak ada gunanya kekayaan dan usahanya itu. Api yang menjilat-jilat akan menggulungnya" (Qur'an 111: 1-5)

Kemarahan Abu Lahab dan sikap permusuhan kalangan Quraisy yang lain tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah itu. Setiap hari niscaya akan ada saja orang yang Islam - menyerahkan diri kepada Allah. Lebih-lebih mereka yang tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekedar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang berkecukupan, baik dari harta Khadijah atau hartanya sendiri. Tidak dipedulikannya harta itu, juga tidak akan memperbanyaknya lagi. Ia mengajak orang hidup dalam kasih-sayang, dengan lemah-lembut, dalam kemesraan dan tasamuh (lapang dada, toleransi). Ya, bahkan dia yang menerima wahyu menyebutkan, bahwa memupuk-mupuk kekayaan adalah suatu kutukan terhadap jiwa.

"Kamu telah dilalaikan oleh perlombaan saling memperbanyak. Sampai nanti kamu menuju kubur. Sekali lagi, jangan! Akan kamu ketahui juga nanti. Jangan. Kalau kamu mengetahui dengan meyakinkan. Niscaya akan kamu lihat neraka. Kemudian, tentu akan kamu lihat itu dengan mata yang meyakinkan. Hari itu kemudian baru kamu akan ditanyai tentang kesenangan itu." (Qur'an 102: 1-8)

Apalagi yang lebih baik daripada yang dianjurkan Muhammad itu! Bukankah ia menganjurkan kebebasan? Kebebasan mutlak yang tak ada batasnya. Kebebasan yang sungguh bernilai bagi setiap manusia Arab itu, sama dengan nilai hidupnya sendiri! Ya! Bukankah orang mau melepaskan diri dari belenggu dengan pengabdian yang bagaimanapun selain pengabdiannya kepada Allah? Bukankah setiap belenggu itu harus dihancurkan? Tak ada Hubal, tak ada Lat, 'Uzza. Tak ada api Majusi, matahari orang Mesir, tak ada bintang penyembah bintang, tak ada hawariyin (pengikut-pengikut Isa), tak ada seorang manusiapun, atau malaikat ataupun jin yang akan menjadi batas antara Allah dengan manusia. Di hadapan Allah, hanya di hadapanNya Yang Tunggal tak bersekutu, manusia akan dimintai pertanggung-jawabannya atas perbuatannya yang telah dilakukan, yang baik dan yang buruk. Hanya perbuatan manusia itu sajalah yang menjadi perantaranya. Hati kecilnya yang akan menimbang semua perbuatan. Hanya itulah yang berkuasa atas dirinya. Dengan itulah dipertanggungkan ketika setiap jiwa mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. Kebebasan mana lagi yang lebih luas daripada yang diajarkan Muhammad itu? Adakah Abu Lahab dan kawan-kawannya mengajarkan yang semacam itu - sedikit sekalipun? Ataukah mereka mengajarkan supaya manusia tetap dalam perhambaan, dalam perbudakan, yang sudah ditimbuni oleh kepercayaan-kepercayaan khurafat dan takhayul, yang sudah menutupi mereka dari segala cahaya kebenaran?


Quraisy Menghasut Penyair-penyairnya Terhadap Muhammad
Akan tetapi Abu Lahab, Abu Sufyan dan bangsawan-bangsawan Quraisy terkemuka lainnya, hartawan-hartawan yang gemar bersenang-senang, mulai merasakan, bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula harus mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya, dan mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu.

Langkah pertama yang mereka lakukan dalam hal ini ialah membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin'l-Harith, 'Amr bin'l-'Ash dan Abdullah ibn'z-Ziba'ra, supaya mengejek dan menyerangnya. Dalam pada itu penyair-penyair Muslimin juga tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayani.

Sementara itu, selain penyair-penyair itu beberapa orang tampil pula meminta kepada Muhammad beberapa mujizat yang akan dapat membuktikan kerasulannya: mujizat-mujizat seperti pada Musa dan Isa. Kenapa bukit-bukit Shafa dan Marwa itu tidak disulapnya menjadi emas, dan kitab yang dibicarakannya itu dalam bentuk tertulis diturunkan dari langit? Dan kenapa Jibril yang banyak dibicarakan oleh Muhammad itu tidak muncul di hadapan mereka? Kenapa dia tidak menghidupkan orang-orang yang sudah mati, menghalau bukit-bukit yang selama ini membuat Mekah terkurung karenanya? Kenapa ia tidak memancarkan mata air yang lebih sedap dari air sumur Zamzam, padahal ia tahu betapa besar hajat penduduk negerinya itu akan air?

Tidak hanya sampai disitu saja kaum musyrikin itu mau mengejeknya dalam soal-soal mujizat, malahan ejekan mereka makin menjadi-jadi, dengan menanyakan: kenapa Tuhannya itu tidak memberikan wahyu tentang harga barang-barang dagangan supaya mereka dapat mengadakan spekulasi buat hari depan?

Debat mereka itu berkepanjangan. Tetapi wahyu yang datang kepada Muhammad menjawab debat mereka.

"Katakanlah: 'Aku tak berkuasa membawa kebaikan atau menolak bahaya untuk diriku sendiri, kalau tidak dengan kehendak Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib-gaib, niscaya kuperbanyak amal kebaikan itu dan bahayapun tidak menyentuhku. Tapi aku hanya memberi peringatan dan membawa berita gembira bagi mereka yang beriman." (Qur'an 7: 188)

Ya, Muhammad hanya mengingatkan dan membawa berita gembira. Bagaimana mereka akan menuntutnya dengan hal-hal yang tak masuk akal. Sedang dia tidak mengharapkan dari mereka kecuali yang masuk akal, bahkan yang diminta dan diharuskan oleh akal?! Bagaimana mereka menuntutnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan kodrat jiwa yang tinggi padahal yang diharapkannya dari mereka agar mereka mau menerima suara yang sesuai dengan kodrat jiwa yang tinggi itu?! Bagaimana pula mereka masih menuntutnya dengan beberapa mujizat, padahal kitab yang diwahyukan kepadanya itu dan yang menunjukkan jalan yang benar itu adalah mujizat dari segala mujizat? Kenapa mereka masih menuntut supaya kerasulannya itu diperkuat lagi dengan keanehan-keanehan yang tak masuk akal, yang sesudah itu nanti merekapun akan ragu-ragu lagi, akan mengikutinyakah mereka atau tidak?

Dan ini, yang mereka katakan tuhan-tuhan mereka itu, tidak lebih adalah batu-batu atau kayu yang disangga atau berhala-berhala yang tegak di tengah-tengah padang pasir, yang tidak dapat membawa kebaikan ataupun menolak bahaya. Sungguhpun begitu mereka menyembahnya juga, tanpa menuntut pembuktian sifat-sifat ketuhanannya. Dan kalaupun itu yang dituntut, pasti ia akan tetap batu atau kayu, tanpa hidup, tanpa gerak; untuk dirinyapun ia tak dapat menolak bahaya atau membawa kebaikan. Dan jika ada yang datang menghancurkannya iapun takkan dapat mempertahankan diri.

Muhammad Menista Dewa-dewa Quraisy
Muhammadpun sudah terang-terangan menyebut berhala-berhala mereka, yang sebelum itu tidak pernah disebut-sebutnya. Ia mencelanya, yang juga sebelum itu tidak pernah dilakukan demikian. Hal ini menjadi soal besar bagi Quraisy dan dirasakan menusuk hati mereka. Tentang laki-laki itu, serta apa yang dihadapinya dari mereka dan dihadapi mereka dari dia, sekarang mulai sungguh-sungguh menjadi perhatian mereka. Sampai sebegitu jauh mereka baru sampai memperolok kata-katanya. Apabila mereka duduk-duduk di Dar'n Nadwa3, atau disekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang ada, membuallah mereka dengan sikap tidak lebih dari senyuman mengejek dan berolok-olok. Akan tetapi, jika yang dihina dan diejek itu sekarang dewa-dewa mereka yang mereka sembah dan disembah nenek-moyang mereka, termasuk Hubal, Lat, 'Uzza dan semua berhala, maka tidak lagi soalnya soal olok-olok dan cemoohan, melainkan sudah menjadi soal yang serius dan menentukan. Atau, andaikata orang itu sampai dapat menghasut penduduk Mekah melawan mereka dan meninggalkan berhala-berhala mereka, hasil apa yang akan diperolehnya dari perdagangan Mekah itu? Dan bagaimana pula kedudukan mereka dalam arti agama?

Abu Talib pamannya belum lagi menganut Islam. Tetapi tetap ia sebagai pelindung dan penjaga kemenakannya itu. Ia sudah menyatakan kesediaannya akan membelanya. Atas dasar itu pemuka-pemuka bangsawan Quraisy - dengan diketahui oleh Abu Sufyan b. Harb - pergi menemui Abu Talib.

"Abu Talib," kata mereka, "kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan menganggap sesat nenek-moyang kita. Soalnya sekarang, harus kauhentikan dia; kalau tidak biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Oleh karena engkau juga seperti kami tidak sejalan, maka cukuplah engkau dari pihak kami menghadapi dia."

Akan tetapi Abu Talib menjawab mereka dengan baik sekali. Sementara itu Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dakwahnya dan dakwa itupun mendapat pengikut bertambah banyak.

Quraisy segera berkomplot menghadapi Muhammad itu. Sekali lagi mereka pergi menemui Abu Talib. Sekali ini disertai 'Umara bin'l-Walid bin'l-Mughira, seorang pemuda yang gagah dan rupawan, yang akan diberikan kepadanya sebagai anak angkat, dan sebagai gantinya supaya Muhammad diserahkan kepada mereka. Tetapi inipun ditolak. Muhammad terus juga berdakwah, dan Quraisypun terus juga berkomplot.

Untuk ketiga kalinya mereka mendatangi lagi Abu Talib.
"Abu Talib'" kata mereka, "Engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah minta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tapi tidak juga kaulakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita - sebelum kausuruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa."

Berat sekali bagi Abu Talib akan berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Juga tak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Gerangan apa yang harus dilakukannya?

Dimintanya Muhammad datang dan diceritakannya maksud seruan Quraisy. Lalu katanya: "Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul."

Muhammad menekur sejenak, menekur berhadapan dengan sebuah sejarah alam wujud ini, sejarah yang sedang tertegun tak tahu hendak ke mana tujuannya. Dalam kata-kata yang kemudian menguntai dari bibir laki-laki itu adalah suatu keputusan bagi dunia: adakah dunia ini akan dalam kesesatan selalu dan terus dijerumuskan, lalu datang Majusi menekan Kristen yang sudah gagal dan kacau, dan dengan demikian paganisma dengan kebatilannya itu akan mengangkat kepala yang sudah rapuk dan busuk? Atau ia harus memancarkan terus sinar kebenaran itu, memproklamirkan kata-kata Tauhid, membebaskan pikiran manusia dari belenggu perbudakan, membebaskannya dari rantai ilusi dan mengangkatnya kemartabat yang lebih tinggi, sehingga jiwa manusia itu dapat mencapai hubungan dengan Zat Maha Tinggi?


Utusan Quraisy Kepada Abu Talib
Pamannya, ini pamannya seolah sudah tak berdaya lagi membela dan memeliharanya. Ia sudah mau meninggalkan dan melepaskannya. Sedang kaum Muslimin masih lemah, mereka tak berdaya akan berperang, tidak dapat mereka melawan Quraisy yang punya kekuasaan, punya harta, punya persiapan dan jumlah manusia. Sebaliknya dia tidak punya apa-apa selain kebenaran. Dan atas nama kebenaran sebagai pembelanya ia mengajak orang. Tak punya apa-apa ia selain imannya kepada kebenaran itu sebagai perlengkapan. Terserahlah apa jadinya! Hari kemudian itu baginya lebih baik daripada yang sekarang. Ia akan meneruskan misinya, akan mengajak orang seperti yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Lebih baik mati ia membawa iman kebenaran yang telah diwahyukan kepadanya daripada menyerah atau ragu-ragu.

Karena itu, dengan jiwa yang penuh kekuatan dan kemauan, ia menoleh kepada pamannya seraya berkata:

"Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku, atau aku binasa karenanya."

Ya, demikian besarnya kebenaran itu, demikian dahsyatnya iman itu! Gemetar orang tua ini mendengar jawaban Muhammad, tertegun ia. Ternyata ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.

Muhammad berdiri. Air matanya terasa menyumbat karena sikap pamannya yang tiba-tiba itu, sekalipun tak terlintas kesangsian dalam hatinya sedikitpun akan jalan yang ditempuhnya itu.

Seketika lamanya Abu Talib masih dalam keadaan terpesona. Ia masih dalam kebingungan antara tekanan masyarakatnya dengan sikap kemanakannya itu. Tetapi kemudian dimintanya Muhammad datang lagi, yang lalu katanya: "Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!"

Kedudukan Muhammad Terhadap Pamannya
Sikap dan kata-kata kemenakannya itu oleh Abu Talib disampaikan kepada Banu Hasyim dan Banu al-Muttalib. Pembicaranya tentang Muhammad itu terpengaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar